DEMAM BERDARAH DENGUE




Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan nyamuk aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2─7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda pendarahan dikulit berupa bintik pendarahan (petichiae), dan lebam atau ruam. Kadang-kadang disertai mimisan, berak darah, muntah darah dan kesadran menurun atau shock. Chin (2000) mengatakan Demam Berdarah (DB) adalah penyakit virus dengan demam akut dengan ciri khas muncul tiba-tiba, demam biasanya berlangsung selama 3─5 hari disertai dengan sakit kepala berat, mialgia, tidak nafsu makan, artralgia, sakit retro orbital, dan timbul ruam. Ruam makulopapuler biasanya muncul pada masa deferfescence. Fenomena pendarahan minor, seperti petechie terjadi selama demam.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
a.  Penyebab penyakit (agent).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang masuk dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Virus yang terserap oleh nyamuk bersama-sama dengan darah penderita DBD mengalami multiplikasi dan tersebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk di kelenjar liurnya. Dalam jangka waktu antara 8─10 hari setelah menggigit darah penderita, nyamuk tersebut menjadi terinfeksi dan siap menularkan virus dengue kepada manusia yang sehat sepanjang hidupnya (Nasrudin, 2000).
b.      Pejamu (host).
Pejamu penyakit DBD adalah manusia, yang penderitanya merupakan sumber penularan. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Nyamuk tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang sakit. Kemudian virus yang ada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak dalam waktu 8─10 hari, sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya.
c.   Lingkungan (environment).
Menurut Kadar (2003), lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan vektor, sehingga berpengaruh pula terhadap penularan penyakit DBD, antara lain sebagai berikut.
1)      Lingkungan fisik, terdiri dari genangan air, khususnya genangan air yang tidak kontak langsung dengan tanah, tempat penampungan air, air di pelepah atau batang pisang, air di kaleng bekas atau ban bekas dan tanaman hias.
2)      Lingkungan biologi, terdiri dari tanaman yang dapat menampung air pada pelepah, daun maupun batangnya.
3)      Lingkungan sosial-ekonomi, berupa perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya, terutama menguras bak atau tempat penampungan air dan sampah-sampah yang dapat menampung air.
d.      Masa inkubasi, antara 3-14 hari.
e.      Masa penularan.
Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia yaitu : sejak beberapa saat sebelum panas sampai saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung salama 3─5 hari. Nyamuk menjadi infektif 8─12 hari sesudah mengisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama hidupnya.
3.      Pengendalian dan Pemberantasan DBD
Pemberantasan nyamuk aedes aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Pengendalian vektor bertujuan untuk menurunkan kepadatan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan lagi bagi kesehatan masyarakat. Untuk melakukan pengendalian vektor perlu diketahui data kuantitatif vektor diantaranya indek vektor. Kegiatan pemberantasan nyamuk aedes yang dilaksanakan sekarang ada dua cara yaitu (Chahaya, 2003) sebagai berikut.
a.     Dengan cara kimia
Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (cold fogging = ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying), sebab nyamuk aedes aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan kedalam kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic. Pemberantasan larva dapat digunakan abate (larvasida temefos) yang ditaburkan ke dalam bejana tempat penampungan air dengan dosis 1 gram abate untuk 10 liter air. Tempayan dengan volume 100 liter diperlukan abate 100/10 x 1 gram = 10 gram (1 sendok makan berisi 10 gram abate). Abatisasi pada tempat penampungan air mempunyai efek residu selam 2─3 bulan (Sungkar, 2005).
b.     Pengelolaan lingkungan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Cara ini dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi tempat-tempat perindukan, dikenal sebagai PSN, yang pada dasarnya ialah pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. PSN ini dapat dilakukan dengan cara:
1)      Menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air sekurangkurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7─10 hari, secara teratur menggososk dinding bagian dalam dari bak mandi dan semua tempat penyimpanan air untuk menyingkirkan telur nyamuk.
2)      Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan tempat air lain, sehingga nyamuk tidak dapat masuk. Tempat penampungan air yang tertutup tetapi tidak terpasang dengan baik, akan berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk karena ruangannya lebih gelap dari pada yang tidak tertutup sama sekali.
3)      Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung sekurang-kurangnya seminggu sekali.
4)      Membersihkan pekarangan dan halaman rumah dari barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah sehingga tidak menjadi sarang nyamuk.
5)     Menutup lubang-lubang pada bambu pagar dan lubang pohon dengan tanah agar tidak menampung air yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.
6)      Membersihkan air yang tergenang diatap rumah karena saluran air yang tersumbat dengan cara dikeringkan agar tidak menjadi tempat perindukan nyamuk.
7)      Setiap dua atau tiga bulan sekali, menaburi dengan bubuk abate tempat-tempat yang menampung air dan sulit dikuras.
8)      Memelihara ikan mujair ataupun ikan kepala timah yang suka makan jentik-jentik nyamuk.

B. Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan
Kesehatan masyarakat didefinisikan oleh Winslow pada tahun 1920 sebagai ilmu dan kiat (art) untuk mencegah penyakit, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan higiene perseorangan, mengorganisir pelayanan medis, dan perawatan, agar dapat dilakukan diagnosis dini dan pengobatan pencegahan, serta membangun mekanisme sosial, sehingga setiap insan dapat menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk dapat memelihara kesehatan (Slamet, 2004).
Berdasarkan definisi kesehatan masyarakat di atas, maka masyarakat hanya akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya sendiri serta lingkungannya. Tanpa partisipasi masyarakat (termasuk para ahli), kesehatan tidak akan tercapai (Slamet, 2004). Filosofi inilah yang selalu dipegang oleh ahli kesehatan dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan masyarakat.
DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sampai saat ini masih menjadi permaslahan yang sangat sulit untuk diberantas. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat
Menurut H.L Blum yang dikutip oleh Bustan (2002) menegaskan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya suatu penyakit adalah lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan hereditas. Banyak hal yang mendasari sulitnya pemberantasan DBD di Indonesia, diantaranya kurang pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berprilaku hidup sehat dan memperhatikan keadaan lingkungan sekitar tempat tinggal sehingga banyak tempat perindukan nyamuk. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan persoalan DBD  dan sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat tentang cara pemberantasan DBD serta pencegahannya yang tepat dan sesuai dengan keadaan lingkungan sekitarnya.

Komentar

Postingan Populer